Derek Jeter Sketch Easy Diildo Sketch Easy

Avatar

Oleh : Ali Mujib

Perempuan yang membuat geger umat muslim di dunia dengan memperbolehkan dan menjadikan dirinya Imam sekaligus Khatib shalat Jumat di depan makmum laki-laki dan perempuan di AS itu telah mendobrak kemapanan baik sosial maupun tafsir keagamaan yang diamini banyak kalangan selama 1400 tahun. Di Indonesia, tampilnya ia dalam dialog di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta juga memantik reaksi keras dari banyak pemikir dan golongan masyarakat di Indonesia.

Majma' Al-Fiqhi Al-Islami (MFI) juga mengecam keras aksi 'nyeleneh' ini.  Bahkan, Kantor Arab Saudi SPA, mengutip MFI, menyebut aksi sensasi Wadud sebagai bid'ah yang menyesatkan dan musibah. Senada dengan MFI, ulama besar Syeikh Yusuf Al-Qardhawi juga mengecam keras atas shalat Jumat versi Wadud itu dengan menyebutnya sebagai bid'ah yang munkar. Menurutnya, dalam sejarah Muslimin selama 14 abad tak dikenal seorang perempuan menjadi khatib Jumat dan mengimami laki-laki. Bahkan kasus seperti ini pun tak terjadi di saat seorang perempuan menjadi penguasa pada era Mamalik di Mesir. Gelombang protes yang luar biasa itu ternyata di lain pihak memunculkan banyak dukungan baik dari kalangan feminis maupun pembela hak dan keadilan kaum perempuan.

Sosok Amina

Terlahir dari keturunan Berber Afrika-Amerika (kulit hitam) dengan nama Maria Teasley di kota Bethesda Maryland, Amerika Serikat pada 25 September 1952 ini adalah putri dari seorang Methodist menteri dan ibu keturunan dari budak Muslim Arab. Ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam (gender), mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadat pada hari yang ia namakan "Thanksgiving Day" tahun 1972. Namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud Muhsin yang dipilih untuk mencerminkan afiliasi atas agama yang dipeluknya.

Prestasi intelektual Amina Wadud dimulai dari menerima gelar BS. dari The University of Pennsylvania, antara tahun 1970 dan 1975, MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988. Ia juga menjadi Guru Besar Studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Commonwealth. Selama kuliah, ia juga belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan dengan studi Alquran dan Tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus Filsafat di Universitas al-Azhar.

Selain bahasa Inggris, Amina Wadud Muhsin juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan Jerman. Maka tidak mengherankan bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas dan seabrek penghargaan akademik di beberapa negara di antaranya Universitas Islam International Malaysia, Universitas C ommonwealth, Universitas di Michigan, Universitas Amerika di Kairo,  dan Universitas di Pennsylvania.

Pemikiran Amina Wadud

Secara garis besar konsepsi pemikiran Amina didasarkan pada 3 hal. P ertama, pada kerangka paradigma Tauhid atau The Tauhidic Paradigm/Hermeneutics of Tauhid. Tauhid merupakan teori dasar yang melandasinya dalam menegaskan ketidakadaannya penindasan perempuan dalam Alquran. Ia selalu melihat teks-teks dan menafsirkannya secara kontekstual, tidak semata dipahami secara leksikal dan penafsiran kuno seperti apa yang dilakukan penafsir terdahulu dalam tafsir tradisionalnya (traditional exeget i cal works) . K edua,The Perceptions of Women Influence Interpretation of the Qur'an. " No method of Qur'anic exegesis is fully objective", bahwa tidak ada satupun penafsir yang menafsirkan Alquran secara objektif, masing-masing adalah subjektif. K etiga, In the Beginning, Man and Woman Were Equal.   Menurutnya, walaupun ada perbedaan antara keduanya namun itu bukan esensi naturalnya karena Alquran tidak secara jelas dalam menetapkan fungsi dari masing-masing. Inilah yang disebutkannya dalam teori Feminisme Islami.

Bukunya Qur'an and Woman yang merupakan hasil dari penelitian dan diskusi-diskusi yang dilakukan Amina Wadud dengan teman-temannya dipublikasikan pada tahun 1992. Buku ini sangat menarik karena berisi penafsiran ulang mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan Gender, dimana ia menggunakan metode Reinterpretasi dan Double Movement dengan pendekatan  Hermeneutik, Filologi, Sosial, Moral, Ekonomi dan Politik Modern. Melalui pendekatan ini, kita dapat melakukan  penafsiran ulang/kembali Aquran agar sesuai dengan konteks masyarakat juga mampu melihat kondisi dan situasi ayat itu diturunkan agar mendapatkan nilai atau pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.

Dalam buku ini, dia mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini membahas perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassir nya yang bisa bersifat hukum, tasawuf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu secara eksklusif ditulis oleh kaum laki-laki, sehingga hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang mewarnai tafsir itu. Sedang perempuan -berikut pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya- ditundukkan pada pandangan laki-laki.

Kategori kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap Alquran. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yaitu Alquran.

Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, dan politik, termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini. Menurut Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam kategori inilah Amina menempatkan karyanya.

Metode penafsiran yang digunakan Amina adalah metode yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman, yaitu metode neo-modernis. Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah – dengan keadaan yang umum dan khusus yang menyertainya – menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pesan Alquran tidak bisa dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Seorang sahabat yang membaca Alquran harus memahami implikasi-implikasi dari pernyataan-pernyataan Alquran pada waktu diwahyukan untuk menentukan makna yang dikandungnya. Di sisi lain, generasi Islam selanjutnya, yang situasi dan kondisinya berbeda dengan masa Rasulullah, harus tetap membuat aplikasi praktis dari pernyataan-pernyataan Alquran yang tetap mempertimbangkan makna utama yang dikandungnya. Dengan argumen ini, Amina yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, Alquran harus terus-menerus ditafsirkan ulang dengan menekankan pentingnya cara pandang egaliter di antara dua jenis kelamin. Menurutnya, teks Alquran yang dengan perspektif femininis akan menghasilkan corak penafsiran yang mampu memahami kaum perempuan, memenuhi konsepsi keadilan dan kesetaraan di hadapan Allah swt.

Dalam kajiannya, Amina menggambarkan asal usul manusia berasal dari nafs tunggal yang merupakan bagian dari sistem berpasang-pasangan: nafs itu dan zawj-nya –yang secara praktis dimaknai lelaki dan perempuan Sementara esensi berpasang-pasangan adalah berkembang biak dan menyebar; dimana hal ini menyiratkan bahwa hakikat penciptaan lelaki dan perempuan adalah kedudukan yang sama. Oleh karenanya, ia menekankan pada kualitas ketakwaan, manfaat dalam melihat perbedaan di antara mereka. Seperti halnya Alquran melihat 3 tokoh perempuan dalam Alquran yaitu Ibu Nabi Musa, Maryam, dan Ratu Balqis. Dalam analisisnya, Amina berpendapat bahwa superioritas kaum laki-laki yang didukung oleh masyarakat, negara dan doktrin atas nama agama hanya akan menenggelamkan citra Islam sebagai agama yang menjadikan takwa sebagai ukuran kualitas manusia di hadapan Tuhannya. Wallahu a'lam bi shawwab.{}

Similar Posts:

andersonthentoa1960.blogspot.com

Source: https://swararahima.com/2018/08/03/feminisme-islam-ala-amina-wadud-muhsin/

0 Response to "Derek Jeter Sketch Easy Diildo Sketch Easy"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel